THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 13 Maret 2012

Mengurai (kerasnya) Manusia Jawa

Secarik tulisan ini bukanlah sebuah propaganda politik ataupun wacana yang berpotensi untuk menjadi isu SARA di Indonesia. Penulis hanya membaca dan mengurai kembali akan kejadian kekerasan yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa, sebagai pusat pemerintahannya.


Sebagai pulau yang berisikan masyarakat majemuk (jika di lihat dari banyaknya perantau luar pulau yang mengadu nasib di Jawa), bisa dikatakan Jawa tidak hanya berposisi sebagai pusat pemerintahan saja, melainkan juga sebagai pusat perekonomian dan menjadi pusat dari segala pusat yang lain, termasuk juga segala macam pusat permasalahan yang ada di Indonesia. Hal ini terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya (bahkan sampai saat ini) walaupun sudah diberlakukannya sistem otonomi daerah, yang membebaskan suatu daerah (luar Jawa) untuk mengembangkan potensi baik sumber daya manusianya, alam, dan lain-lain yang kesemuanya itu menuju pada kesejahteraan yang berpangkal rohani maupun jasmani.
Ditilik dari sejarahnya, masyarakat Jawa lebih mempunyai nilai historis dibandingkan dengan masyarakat di pulau lain di Indonesia. Ini tak lepas dari letak geografis strategis diantara banyak pulau dan serta banyaknya kerajaan yang berpusat (segala peradabannya) di Jawa, mulai zaman masuknya Hindu-Buddha hingga Islam. Jawa sendiri dalam bahasa sansekerta memiliki arti paham, yang bertolak pada leluhur yang mengajarkan akan budi baik, sehingga manusia Jawa yang paham betul akan ajaran leluhurnya disebut njawani atau orang yang memahami budi baik. Namun sebaliknya jika tak memahami disebut gak njawani atau orang yang tak memahami. Jadi, peristiwa akhir-akhir ini yang sering terjadi di wilayah Jawa seperti pembunuhan dan kekerasan lainnya sangatlah bertolak belakang dengan arti dan ajaran Jawa itu sendiri.
Kembali pada sejarah. Sebagai wilayah pusat kerajaan dengan kesuburan tanahnya, tentunya kerajaan di Jawa sejak dulu menjadi incaran kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa dan bahkan luar Nusantara, sehingga secara psikoligis-historisnya masyarakat Jawa lebih sering menghadapi tekanan dalam menghadapi peperangan untuk mempertahankan wilayahnya. Hal ini terus berlanjut sampai zaman kolonial Portugis, Belanda, Jepang, dan Sekutu.
Dari sinilah kemudian disimpulkan bahwa kerasnya karakter manusia Jawa mulai terbentuk akibat faktor sejarah zaman dulu, yang kemudian memunculkan banyak pertanyaan akan budaya Jawa. Dari yang bersifat material, dengan simbol yang mengungkap pertanyaan akan makna Blangkon, Keris, dan lain-lain. Mengapa Blangkon terlihat baik atau rapi di depan, namun jelek atau mbendol di belakang? Mengapa keris letaknya di belakang pinggang, hingga tak kelihatan, sampai-sampai pada acara pesta pernikahanpun, Keris, yang merupakan senjata untuk berperang masih saja digunakan oleh pengantin pria.
Dalam pemaparan beberapa waktu yang lalu di salah satu stasiun televisi swasta, Sudjiwo Tedjo, penulis dan budayawan ini mengatakan,”Wong Jowo, nek kadung kobong atine, mungsuh pun sampe tak entekno sak cindil abang’e.” (orang Jawa, kalau sudah marah atau dendam, musuh saja sampai saya habisi sampai pada anak turunannya). Hal ini bukanlah omong kosong belaka, meskipun banyak yang menilai bahwa setiap orang memiliki perasaan yang berbeda dalam memaknai permusuhannya. Tengok saja para pemilik ilmu hitam seperti santet dan lain-lain yang masih bersedia ‘menerima’ jasa penyerangan dengan media ghaib, sampai-sampai mereka yang membalas dendam rela untuk bertapa di gunung-gunung maupun pantai untuk mendapat ‘ilmu’ agar terbalaskan dendamnya.
Selanjutnya dalam perkembangannya di era modern ini, kekerasan akan watak manusia Jawa mulai mengalami pergeseran, dari yang bersifat mistik beralih pada kekerasan fisik yang nyata. Entah itu dengan merusak fasilitas umum sampai pada penganiayaan sesama. Kriminalitas yang terliput dalam media massa seakan tak akan ada habisnya, bahkan untuk kasus pembunuhan saja hampir setiap hari menghiasi media elektronik maupun cetak. Hal semacam ini lama-kelamaan dapat memunculkan pola pikir baru, bahwa dengan penganiayaan dan menghilangkan nyawa seseorang adalah hal yang biasa dan lumrah terjadi di Indonesia.

0 komentar: