THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 14 April 2012

Islam Juga Berfilsafat

Banyak masyarakat kerap kali kebingungan ketika mendeskripsikan filsafat, dan tak sedikit dari mereka akan merasa takut jatuh kafir setelah mempelajari filsafat. Sebab hal ini dikarenakan filsafat bukan kitab suci yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa, melainkan filsafat hanya produk yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Pernyataan ini memang benar adanya. Namun, terlalu dini kiranya ketika banyak kalangan yang menilai dengan berfilsafat akan mendatangkan kekafiran, benarkah?

Terlalu naif rasanya ketika kita sampai pada simpulan semacam itu, karena tidak sedikit pula orang yang tidak mempelajari filsafat juga terjebak dalam kekafiran, bahkan tidak punya agama atau Atheis. Menurut filsuf Yunani kuno, Plato, filsafat adalah ilmu yang mempelajari akan hakikat sesuatu. Begitu pula yang dikatakan oleh Aristoteles, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika, dan lain-lain. Jika kita kupas sedikit tentang filsafat, maka kita akan menemukan argumen bahwa berfilsafat itu tidak sulit. “Seperti bayi yang mulai belajar sebagai ilmuan kecil”, kata filsuf Socrates, ia lebih tertarik mengenali benda-benda di sekitarnya dengan memasukkan macam-macam benda ke mulutnya, memukul-mukul, lalu melemparnya. Seiring berjalannya usia dan mulai berbicara, ia akan lebih tertarik mengenali macam-macam benda dengan menanyakan,”Ini apa? Itu apa?” dan lain sebagainya. Dari sini, kita telah memahami makna dari filsafat secara tersurat, namun belum memahami hakikat akan filsafat dan mulai bertanya,”Apa fungsi filsafat?”. Dari contoh ilmuan kecil dan pertanyaan akan fungsi filsafat tersebut, sesungguhnya kita telah mulai berfilsafat, sebab inti dari berfilsafat adalah pertanyaan. Secara garis besar, filsafat mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam menghadapi kehidupan. Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan berpikir serius, sehingga melatih untuk lebih fokus dan serius dalam memikirkan tiap-tiap problematika kehidupan. Memikirkan sesuatu secara serius dan sungguh-sungguh kerap kali membuat orang pusing. Namun menurut hemat saya, jika orang tak pernah pusing juga dapat diartikan sebagai orang yang tak pernah berpikir, sehingga orang yang tak pernah berpikir adalah orang yang pesimis akan menyelesaikan tiap-tiap persoalan kehidupan. Banyak persoalan yang tak terselesaikan sampai saat ini, hal ini karena persoalan tidak ditangani secara serius, sehingga hanya menjadi wacana saja. Misalnya, korupsi, sampai saat ini tetap saja menjadi penyakit turun-temurun Bangsa yang tak dapat disembuhkan sampai berganti generasi, ini juga dikarenakan kurangnya keseriusan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Menilik sejarah, filsafat itu sendiri masuk dan berkembang di Timur (dunia Islam) saat abad pertengahan dan lebih dikenal dengan nama al-Hikmah. Istilah ini dapat didefinisikan secara luas. Misal, pengertian al-Hikmah menurut Ahmad Tafsir ialah akal ilmiah yang kuat. Salah satu tokoh yang paling kita kenal dan berperan dalam perkembangan filsafat Islam ini adalah al-Ghazali, beliau tak henti-hentinya mempelajari berbagai disiplin ilmu guna memperoleh kebenaran yang hakikat (al-haqiqah), yang ia cari melalui jalan tasawuf (al-Irfan, bukan mistisme). Yaitu suatu metode pencarian kebenaran dengan membersihkan jiwa, menghindari diri dari perbuatan maksiat (al-qolbu, al-fuada, al-nafsu) dan senantiasa melaksanakan syariat secara keseluruhan dengan penghambaan penuh kepada Allah SWT. Selain al-Ghazali, Islam juga memiliki tokoh filsafat penting lainnya dalam mempengaruhi perkembangan Islam di dunia, beliau adalah Jamaluddin al-Afghani. Jika sebelumnya Islam dikenal “kaku” dan “antiteknologi”, keadaan berubah di tangan beliau. Umat Islam berhasil keluar dari kungkungan dogma yang sebenarnya tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, seperti telepon genggam, kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Selain itu beliau juga menampilkan Islam dari sudut pandang berbeda, lebih modern tanpa melupakan akar-akar keislamannya. Al-Quran sendiri bertaburan ayat tentang ajakan kepada manusia untuk berpikir (berfilsafat). Hal ini tanpa disadari oleh banyak kalangan umat muslim yang sedang mempelajari Al-Quran (tidak hanya membaca, namun dipelajari tiap maknanya), sesungguhnya mereka sedang berfilsafat, namun banyak orang tidak menyadarinya dan dengan sendirinya mengutuk filsafat sebagai ajaran yang membawa kekafiran, dan hal ini sungguh tidak benar. Objek dari filsafat itu sendiri dapat dibagi dua, yaitu material dan formal. Objek material adalah benda, seluruh yang ada (al-Maujudah), baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak, baik yang konkret maupun yang abstrak. Seluruh yang ada itu bisa saja menyangkut keyakinan (ajaran agama), alam semesta, manusia dan lain sebagainya. Sedangkan objek formal dari filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh sehingga dapat mencapai hakikat pada objek materialnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW. memperoleh wahyu pertama kali ialah Iqra’ (baca) dan beliau memperoleh pencerahan (pemikiran) luar biasa dalam memaknai Iqra’ itu sendiri, jika kita orang awam hidup pada masa itu tak mengerti maksud dari Iqra’ itu sendiri, maka Al-Quran hanya akan menjadi Iqra’ (bacaan) saja tanpa memikirkan dan mengetahui makna dari Iqra’ itu sendiri.

selengkapnya...

Selasa, 13 Maret 2012

Mengurai (kerasnya) Manusia Jawa

Secarik tulisan ini bukanlah sebuah propaganda politik ataupun wacana yang berpotensi untuk menjadi isu SARA di Indonesia. Penulis hanya membaca dan mengurai kembali akan kejadian kekerasan yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa, sebagai pusat pemerintahannya.


Sebagai pulau yang berisikan masyarakat majemuk (jika di lihat dari banyaknya perantau luar pulau yang mengadu nasib di Jawa), bisa dikatakan Jawa tidak hanya berposisi sebagai pusat pemerintahan saja, melainkan juga sebagai pusat perekonomian dan menjadi pusat dari segala pusat yang lain, termasuk juga segala macam pusat permasalahan yang ada di Indonesia. Hal ini terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya (bahkan sampai saat ini) walaupun sudah diberlakukannya sistem otonomi daerah, yang membebaskan suatu daerah (luar Jawa) untuk mengembangkan potensi baik sumber daya manusianya, alam, dan lain-lain yang kesemuanya itu menuju pada kesejahteraan yang berpangkal rohani maupun jasmani.
Ditilik dari sejarahnya, masyarakat Jawa lebih mempunyai nilai historis dibandingkan dengan masyarakat di pulau lain di Indonesia. Ini tak lepas dari letak geografis strategis diantara banyak pulau dan serta banyaknya kerajaan yang berpusat (segala peradabannya) di Jawa, mulai zaman masuknya Hindu-Buddha hingga Islam. Jawa sendiri dalam bahasa sansekerta memiliki arti paham, yang bertolak pada leluhur yang mengajarkan akan budi baik, sehingga manusia Jawa yang paham betul akan ajaran leluhurnya disebut njawani atau orang yang memahami budi baik. Namun sebaliknya jika tak memahami disebut gak njawani atau orang yang tak memahami. Jadi, peristiwa akhir-akhir ini yang sering terjadi di wilayah Jawa seperti pembunuhan dan kekerasan lainnya sangatlah bertolak belakang dengan arti dan ajaran Jawa itu sendiri.
Kembali pada sejarah. Sebagai wilayah pusat kerajaan dengan kesuburan tanahnya, tentunya kerajaan di Jawa sejak dulu menjadi incaran kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa dan bahkan luar Nusantara, sehingga secara psikoligis-historisnya masyarakat Jawa lebih sering menghadapi tekanan dalam menghadapi peperangan untuk mempertahankan wilayahnya. Hal ini terus berlanjut sampai zaman kolonial Portugis, Belanda, Jepang, dan Sekutu.
Dari sinilah kemudian disimpulkan bahwa kerasnya karakter manusia Jawa mulai terbentuk akibat faktor sejarah zaman dulu, yang kemudian memunculkan banyak pertanyaan akan budaya Jawa. Dari yang bersifat material, dengan simbol yang mengungkap pertanyaan akan makna Blangkon, Keris, dan lain-lain. Mengapa Blangkon terlihat baik atau rapi di depan, namun jelek atau mbendol di belakang? Mengapa keris letaknya di belakang pinggang, hingga tak kelihatan, sampai-sampai pada acara pesta pernikahanpun, Keris, yang merupakan senjata untuk berperang masih saja digunakan oleh pengantin pria.
Dalam pemaparan beberapa waktu yang lalu di salah satu stasiun televisi swasta, Sudjiwo Tedjo, penulis dan budayawan ini mengatakan,”Wong Jowo, nek kadung kobong atine, mungsuh pun sampe tak entekno sak cindil abang’e.” (orang Jawa, kalau sudah marah atau dendam, musuh saja sampai saya habisi sampai pada anak turunannya). Hal ini bukanlah omong kosong belaka, meskipun banyak yang menilai bahwa setiap orang memiliki perasaan yang berbeda dalam memaknai permusuhannya. Tengok saja para pemilik ilmu hitam seperti santet dan lain-lain yang masih bersedia ‘menerima’ jasa penyerangan dengan media ghaib, sampai-sampai mereka yang membalas dendam rela untuk bertapa di gunung-gunung maupun pantai untuk mendapat ‘ilmu’ agar terbalaskan dendamnya.
Selanjutnya dalam perkembangannya di era modern ini, kekerasan akan watak manusia Jawa mulai mengalami pergeseran, dari yang bersifat mistik beralih pada kekerasan fisik yang nyata. Entah itu dengan merusak fasilitas umum sampai pada penganiayaan sesama. Kriminalitas yang terliput dalam media massa seakan tak akan ada habisnya, bahkan untuk kasus pembunuhan saja hampir setiap hari menghiasi media elektronik maupun cetak. Hal semacam ini lama-kelamaan dapat memunculkan pola pikir baru, bahwa dengan penganiayaan dan menghilangkan nyawa seseorang adalah hal yang biasa dan lumrah terjadi di Indonesia.

selengkapnya...